Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 Januari 2012

Membangun Remitensi Produktif Bagi Mantan BMI




BANYUMAS. Remitensi Ekonomi Buruh Migran Indonesia (BMI) jika dikaji dari bentuk dan pola pemanfaatannya, dapat di ketegorikan menjadi dua hal, pertama, bersifat konsumtif, kedua, bersifat produktif.

Inilah hasil dari penelitian Dr. Tyas Retno Wulan, dosen Sosiologi Universitas Jenderal Sudirman (UNSOED) di dua kabupaten kantong buruh migran, Wonosobo dan Banyumas (2010).

Remitensi konsumtif yang dimaksud, seperti menutupi biaya hidup sehari-hari, membayar hutang, pesta nikah, membeli alat elektronik dan lain-lain. Investasi misalnya untuk membeli rumah, tanah, menyekolahkan anak, biaya melanjutkan kuliah bagi BMI itu sendiri dan lain-lain. Pemanfaatan produktif misalnya usaha counter handphone, angkutan, dan layanan fotocopy. Hal yang menarik, selain berwirausaha, merekan juga menyisikan pendapatan untuk kegiatan sosial seperti, pembangunan masjid, berkurban dan lain-lain.

Beberapa kisah sukses para BMI yang menggunakan remitensi ekonomi untuk sektor produktif seperti di atas memang tidak sedikit, namun sektor konsumtif di kalangan BMI juga cukup tinggi. Bagi BMI diakui atau tidak, godaan untuk memanfaatkan remiten kepada hal yang bersifat konsumtif juga banyak dijumpai.

Pada titik inilah menjadi penting memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan mengelola keuangan serta membangun wirausaha BMI menjadi penting. Bagi para mantan BMI pengetahuan tersebut penting agar tidak kembali bekerja ke luar negeri dan memiliki pendapatan alternatif untuk menghidupi keluarganya.

Selasa, 03 Januari 2012

Depresi Berat, Witri Anggraeni Masuk RSUD Banyumas


Ilustrasi

Ilustrasi

BANYUMAS. Irwan Jhoni, Kepala Desa Gandatapa, Kecamatan Sumbang, Banyumas, 1 Desember 2011, menghubungi Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan ‘Seruni’, terkait kondisi Witri Aggraeni (23), mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengalami depresi berat sepulang bekerja di Malaysia. Bahkan menurut sang Kepala Desa, Witri sering mengamuk terhadap keluarganya.

Kondisi Witri Aggraeni membuat keluarga berinisiasi agar Witri direhabilitasi dengan meminta bantuan Seruni. Pihak keluarga terutama kedua orang tuanya, gigih mengupayakan agar anaknya cepat mendapatkan pengobatan medis.

Mendapat laporan tersebut Seruni langsung berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait, diantaranya Lembaga Penelitian Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) Purwokerto, Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3), dan Tim Reaksi Cepat (TRC) Satria Baturraden, agar Witri segera dibawa ke RSUD Banyumas yang memiliki layanan Poli Jiwa.

Witri Anggraeni adalah anak pasangan Minem dan Kasidi. Akhir tahun 2010, ia ditemukan petugas jalan raya di Tol Bandara Soekarno-Hatta dalam kondisi depresi berat. Witri Anggraeni sempat membagi-bagikan uang kepada orang yang ia temui di jalan. Tidak ada yang tahu penyebab ia depresi. Kasus ini sudah dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyumas.

Pada 3 Desember 2011, Seruni mendatangi rumah Witri yang berlamat di RT 01/01 Gandatapa Sumbang, untuk berkoordinasi dengan keluarga. Kepada pihak desa, Seruni minta agar semua persyaratan administrasi segera dipersiapkan termasuk Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), karena keluarga Witra tidak menerima asuransi kesehatan Jamkesmas.

Selasa 6 Desember 2011, RSUD Banyumas menjemput Witri di rumahnya. Terjadi negosiasi yang susah dengan Witri. Namun setelah dibujuk keluarga dengan alasan akan berwisata, Witri ahirnya mau masuk mobil yang dibawa langsung dari rumah sakit.

Keluarga merasa senang, karena anaknya mau berobat secara medis. “Terima kasih mas.” Ucap ayah Witri, kepada Seruni yang memfasilitasi keluarga dengan pihak rumah sakit.

Sabtu 10 Desember 2011, Narsidah Sanwi dari Seruni datang ke RSUD Banyumas untuk melihat perkembangan Witri. Petugas ruang isolasi ‘Sakura’, Sutini, menjelaskan bahwa kondisi Witri sudah lebih baik. Perangainya tenang, rutin minum obat, dan juga sudah lebih mudah diajak komunikasi dengan orang lain.

Saat Seruni datang menjenguk, Witri sedang tidur dan tidak boleh dibangunkan. Selama pengobatan di Poly Jiwa RSUD Banyumas, keluarga senantiasa bergantian untuk menjaganya. Sebelum mendapat pelayanan pengobatan medis, Witri sudah melakukan pengobatan alternatif yang diupayakan oleh keluarganya dan dibantu oleh pihak PPTKIS yang memberangkatkan ke Malaysia, yaitu PT. Phinisi Purwokerto. Namun upaya tersebut belum mendatangkan keberhasilan. (SusWoyo)

Dokumen Dibakar, Parsem Susah Mengadu


BANYUMAS. Perjalanan panjang Parsem, sebagai buruh migran, memang cukup memprihatinkan. Perempuan yang lahir 21 Januari 1975, warga Karangsari, RT 02/02, kecamatan Kembaran, Banyumas, mengadukan permasalahannya, kepada Seruni awal November 2011 lalu, dengan didampingi suaminya Rahmat Pardiyanto (40)
Awalnya, karena terdesak kondisi ekonomi keluarga dan ditambah lagi dengan janji sponsor yang menggiurkan, sehingga Parsem nekad untuk menjadi TKI ke Malaysia. Tanggal 27 Oktober 2009 Parsem diberangkatkan oleh PPTKIS Sarimadu yang beralamat di Purbalingga ke Malaysia.

Di Malaysia, Parsem bekerja pada majikan bernama Lee Hok Ming. Dengan majikan beretnis Cina ini Parsem hanya mampu bertahan satu bulan. Karena menurut keterangan Parsem, anak-anak majikan sangat nakal dan suka memukul. Akhirnya Parsem meminta kepada agen untuk dipindahkan majikan.

Pada majikan kedua Parsem dipekerjakan di dua tempat yaitu di rumah dan di kedai roti. Di kedai roti, Parsem setiap hari harus mencuci perlatan yang digunakan untuk membuat roti dengan menggunakan pemutih dan tanpa sarung tangan, hingga mengakibatkan tangan sakit dan bernanah.

Selain itu Parsem juga sering dituduh mencuri oleh majikan dan diancam akan dilaporkan ke polisi. Namun sebelum dilaporkan oleh majikan, Parsem lebih dulu melapor bahwa dirinya tidak pernah mencuri barang-barang milik majikan seperti yang dituduhkan pada dirinya. Akhirnya majikan menjemput kembali Parsem di kantor polisi dengan menebus 100 RM. Majikanpun marah dan memukul Parsem.

Tidak cuma itu saja, majikan juga sering menghukum Parsem dengan disuruh mencuci pakain hingga pukul tiga pagi, Parsem dilarang berkirim surat kepada keluarga apalagi menelfon.
Setelah berusaha sekuat tenaga, Parsem hanya mampu bertahan 9 bulan pada majikan ke 2.

Setelah itu Parsem meminta kepada agen untuk dicarikan majikan baru lagi. Tapi bukan majikan yang didapat malinkan Parsem dipulangkan ke Batam oleh agen. Sebelum naik kapal, di pelabuhan Parsem disuruh tanda tangan tanpa diberitahu isinya, dan tidak diperbolehkan membaca.

Sesampainya di Batam, dalam keadaan bingung , Parsem bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Ibu Nisa, yang ternyata adalah seorang tekong atau calo TKI dari NTB

Parsem ditampung selama 2 bulan dirumah Ibu Nisa. Dan ahirnya ia dibantu masuk kembali ke Malaysia melalui jalur illegal. Pada 15 Juli 2011, Parsem pulang ke tanah air dengan tangan kosong.

Rahmat Pardiyanto, sang suami, merasa sangat jengkel dengan melihat kondisi istrinya yang tanpa hasil. Apalagi kondisi dirinya yang hanya sebagai seorang karyawan rendahan dengan penghasilan tak kalah rendahnya di pabrik mie, menjadikan pikirannya makin kalut. Sementara ketiga anaknya sudah sekolah. Ahirnya Rahmat Pardiyanto, membakar semua dokumen istrinya sampai tak ada yang tersisa.

Ia baru menyesal, saat diberitahu oleh Seruni, bahwa pengaduan tanpa disertai dokumen, akan mengalami kesulitan. Namun demikian, Seruni akan tetap berusaha membantu Parsem dan keluarganya dengan mengontak beberapa lembaga terkait, terutama untuk kelangsungan sekolah anak-anak Parsem. (SusWoyo)

Tim Reaksi Cepat Satria Sambut Baik Perlindungan Anak Keluarga Migran


Bayumas — Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan Seruni Banyumas menghadiri koordinasi dan sosialisasi Tim Reaksi Cepat (TRC) penanganan anak (23/11/2011). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Panti Sosial Petirahan anak (PSPA) Satria, Baturraden Banyumas. TRC dibentuk sejak 18 Juni 2011.

Kepala PSPA ‘Satria’ Baturraden, Restriyaningsih, dalam sambutannya menyebutkan bahwa TRC dibentuk untuk menangani secara cepat anak-anak korban bencana alam dan kekerasan fisik oleh orang tua atau pihak lain. Perempuan yang akrab disapa Bu Ning ini juga meminta lembaga-lembaga yang hadir, seperti Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas), Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3), Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Korban Berbasis Gender (PPT-PKBGA), Panti-Panti Asuhan, Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan ‘Seruni’ Banyumas, dan RRI untuk turut mensosialisasikan tim ini kepada masyarakat. Organisasi-organisasi yang hadir juga diminta untuk bekerjasama dalam penanganan persoalan perlindungan anak.

Sejak didirkan TRC PSPA Satria telah menangani beberapa persoalan korban Merapi, bencana alam di Kemawi Banyumas, dan juga kekerasan fisik yang pernah dialami seorang anak di Banjarnegara. Hesti Ambar Widagdo, Koordinator TRC PSPA Satria, dalam pemaparan visualnya menampilkan foto-foto kegiatan di beberapa tempat, seperti Magelang, Banyumas dan Banjarnegara.

“Tim Reaksi Cepat kami sudah bergerak, walaupun baru beberapa waktu didirikan. Kami siap berkoordinasi dengan lembaga sosial manapun, baik pemerintah, LSM atau yang lainnya untuk menyelesaikan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) ” Ujar Ambar yang disambut antusias peserta.

Seruni yang diwakili Lili Purwani dan Suswoyo, turut memberi saran agar TRC PSPA menyentuh persoalan-persoalan yang dialami anak-anak keluarga migran. Kasus kekerasan dan persoalan anak keluarga buruh migran, atau yang kerap dikenal Tenaga Kerja Indonesia (TKI), juga tak kalah banyak dan membutuhkan pendampingan.

“Kami banyak menemukan anak-anak keluarga migran, terutama mereka yang gagal sebagai TKI, terus jatuh miskin, lantas anak terbengkalai sekolahnya. Atau anak-anak yang orang tuanya terkena kasus di luar negeri, yang berdampak secara psikologis terhadap anak-anaknya. Yang demikian itu sudah pasti membutuhkan penangananan perlindungan yang cepat. Kami minta TRC PSPA ‘Satria’ ke depan bisa terjun lebih dalam ke permasalahan anak migran ini” ujar SusWoyo.

Masukan Seruni disambut baik oleh Sekretaris Tim Reaksi Cepat PSPA ‘Satria’ Baturraden Arif Putranta. Kepala PSPA Satria Baturraden turut memberikan kesempatan kepada Seruni untuk berdiskusi tentang perlindungan anak keluarga Migran. Ajakan berkolaborasi tersebut mendapat sambutan positif dari Lili Purwani selaku ketua Paguyuban Peduli Buruh MIgran dan Perempuan Seruni. (**)

Seruni Banyumas, Jembatani Penanganan Bersama Kasus Admini


Admini, TKI asal Banyumas yang putus kontak dengan keluarga selama 9 tahun

Admini, TKI asal Banyumas yang putus kontak dengan keluarga selama 9 tahun

Paguyuban Perlindungan Buruh Migran dan Perempuan SERUNI Banyumas melakukan koordinasi dengan pelbagai pihak guna menanganani kasus Admini (Baca: Admini, TKI Banyumas 9 Tahun Putus Kontak dengan Keluarga). Beberapa pegiat Seruni sempat berbincang-bincang dengan Kartiman, Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Tranmsigrasi, Kabupaten Banyumas terkait kasus Admini (22/11/2011).

Sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu, nama ini sudah sempat kami lacak dengan BNP2TKI. Namun mengalami kebuntuan, karena ternyata alamatnya tidak jelas.” tutur Kartiman di sela-sela acara sosialisasi perlindungan anak di Rumah Makan Taman Pringsewu Baturraden, Purwokerto.

Selain mengirim aduan ke BNP2TKI, kolaborasi penanganan kasus juga dilakukan bersama pelbagai lembaga pemerintah di daerah dan Suparman, staff penanganan kasus Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) di Jakarta. Penggalangan informasi dari relawan di Arab Saudi juga dilakukan Seruni dengan memanfaatkan media jejaring sosial di internet.

Saat beberapa pegiat Seruni berkunjung ke rumah Admini, Senin 21/11/2011, Madmungi dan keluarganya sangat berharap anaknya segera pulang dan meminta kepada pihak PT. Avida Aviaduta untuk ikut menangani dengan serius kasus ini.

9 Tahun Keberadaan Admini Tidak Jelas


Admini, TKI asal Banyumas yang putus kontak dengan keluarga selama 9 tahun

Admini, TKI asal Banyumas yang putus kontak dengan keluarga selama 9 tahun

Paguyuban Perlindungan Buruh Migran dan Perempuan SERUNI Banyumas terus berupaya memperjuangkan penyelesaian kasus Admini, pekerja migran asal Banyumas yang putus kontak selama 9 tahun dengan keluarga. (baca reportase Suswoyo: Admini, TKI Banyumas 9 Tahun Putus Kontak dengan Keluarga)

Menurut keterangan Madmungi, ayah Admini, keluarga pada akhir tahun 2002 pernah mencoba menghubungi nomor telepon yang tertera di sampul surat yang dikirim Admini. Suginah, mantan pekerja migran di Arab Saudi sekaligus sepupu Admini menjadi wakil keluarga untuk menghubungi nomor tersebut. Berbekal kemampuan berbahasa Arab yang fasih, Suginah tersambung berhasil tersambung dengan majikan Admini melalui sambungan telepon.

“Jawaban sang majikan saat itu adalah Kamu tidak boleh menghubungi pekerja di rumah saya.” tutur Suginah, menirukan ucapan majikan Admini. Sejak kejadian tersebut sampai sekarang nomor telepon yang diberikan Admini tidak aktif.

Sekitar tahun 2005, Madmungi, ayah Admini, nekat ke Jakarta untuk meminta informasi tentang keberadaan anaknya kepada pihak PT. Avida Aviaduta yang memberangkatkan anaknya. Menurut Madmungi, pihak PT menyatakan akan berusaha mencari keterangan tentang keberadaan anaknya. Saat itu pihak keluarga hanya disuruh bersabar menunggu perkembangan informasi dari PT. Avida Aviaduta.

PT. Avida Aviaduta sebagai perusahaan yang mengurus proses penempatan Admini di Arab Saudi terbukti benar-benar tidak serius mengupayakan informasi tentang keberadaan Admini. Pihak keluarga dipaksa menunggu selama 6 tahun (2005-2006) tanpa kepastian kabar dari PT. Avida Aviaduta.

PT. Avida Aviaduta sebagai perusahaan pelaku penempatan Admini sebagai TKI di Arab Saudi tidak kunjung memberi kepastian atas posisi dan peluang melakukan kontak dengan Admini.

Dino, sepupu Admini, memberikan informasi, pada hari Rabu (23/11/2011) pihak keluarga kembali menghubungi PT Avida Aviaduta untuk minta alamat majikan Admini di Arab Saudi. Pihak PT Avida Aviaduta saat itu menolak dan tidak memberikan alamat majikan. Pihak keluarga Admini hanya diberi nama majikan, yaitu Muhammad Soleh Al Jarri, dan sebuah nomor telepon. Namun keluarga gagal menghubungi karena nomor yang diberikan PT ternyata tidak valid.